Kota Dumai (Riau), LPC
Permasalahan penguasaan lahan oleh individu di wilayah strategis terus menjadi perhatian serius seiring dengan munculnya berbagai data sejarah terkait kepemilikan aset tersebut di mata publik.
Salah satu nama yang terus mencuat dalam diskusi agraria ini adalah Ayu Junaidi yang mana menurut dari salah satu media daring kupasberita.com (https://www.kupasberita.com/detail/kupas-sosok/terkait-hibah-lahan-markas-kopassus--ayu-junaidi--saya-hanya-ingin-catatkan-sejarah) diketahui telah menguasai lahan di wilayah sungai sembilan sejak tahun 2003 hingga saat ini.
Keberadaan lahan tersebut memiliki nilai historis yang sangat signifikan, terutama terkait dengan rencana pemanfaatan untuk kepentingan yang lebih luas bagi daerah.
Dalam berbagai kesempatan, Ayu Junaidi telah menyampaikan bahwa tindakannya terkait lahan tersebut didasari oleh keinginan untuk mencatatkan sejarah yang benar bagi generasi mendatang.
Upaya pencatatan sejarah ini mencakup bagaimana proses perolehan dan peruntukan lahan tersebut dilakukan demi kepentingan yang dianggap mulia, termasuk untuk institusi negara.
Namun, sejarah panjang penguasaan lahan ini tetap memicu perhatian dari berbagai kalangan yang peduli terhadap aspek legalitas dan kewajiban administrasi.
Munculnya dinamika ini kemudian mendapatkan tanggapan dari Akhmad Khadafi selaku salah satu tokoh pemerhati lingkungan yang aktif memantau tata kelola sumber daya alam.
Ia memandang bahwa penguasaan lahan dalam jangka waktu yang sangat panjang memerlukan pengawasan yang ketat dari sisi kontribusi terhadap negara.
Pengawasan ini bukan sekadar soal status fisik tanah, melainkan juga mengenai pemenuhan kewajiban yang melekat pada setiap pemegang hak atas tanah tersebut.
Dalam sebuah sesi wawancara khusus, (23/12), Akhmad Khadafi menyampaikan bahwa pihaknya sedang menyiapkan langkah investigasi administratif terhadap aset tersebut.
"Kami akan segera melakukan pengumpulan data atas pajak terhadap tanah yang sudah dikuasai oleh Ayu Junaidi sejak 2003 hingga sekarang guna memastikan adanya transparansi yang utuh," ujar Akhmad Khadafi dengan tegas.
Menurutnya, langkah ini diambil untuk menjamin bahwa tidak ada aspek perpajakan yang terlewatkan selama dua dekade terakhir.
Pengumpulan data ini direncanakan akan mencakup evaluasi terhadap Pajak Bumi dan Bangunan serta potensi pendapatan negara lainnya yang mungkin muncul dari pengelolaan lahan tersebut.
Akhmad Khadafi menekankan bahwa setiap warga negara, tanpa terkecuali, memiliki tanggung jawab yang sama dalam memberikan kontribusi melalui pajak atas aset yang dikuasainya.
Ia menilai bahwa ketertiban administrasi adalah kunci utama dalam mencegah terjadinya polemik pertanahan yang berkepanjangan di tengah masyarakat.
Sebagai seorang pemerhati lingkungan, Akhmad Khadafi juga mengaitkan tertib pajak ini dengan keberlanjutan fungsi lingkungan di wilayah yang bersangkutan.
Ia berpendapat bahwa data pajak yang akurat dapat menjadi pintu masuk untuk meninjau kembali apakah pemanfaatan lahan selama ini sudah sesuai dengan prinsip-prinsip kelestarian alam.
"Oleh karena itu, verifikasi data yang dimulai dari tahun 2003 dianggap sebagai titik awal yang krusial untuk melakukan audit menyeluruh terhadap aset tersebut," tuturnya.
Proses pengumpulan data yang akan dilakukan oleh timnya bakal melibatkan koordinasi dengan instansi pemerintah terkait guna mendapatkan catatan yang valid.
Akhmad Khadafi menegaskan bahwa pengawasan oleh masyarakat sipil merupakan bagian penting dari sistem demokrasi untuk memastikan hukum tegak dengan adil.
Ia berkomitmen untuk mempublikasikan hasil temuan data tersebut setelah proses verifikasi internal selesai dilakukan agar masyarakat mendapatkan informasi yang objektif.
Sebagai penutup, penertiban administratif ini diharapkan dapat memberikan kejelasan hukum yang permanen bagi semua pihak yang terlibat dalam isu lahan tersebut.
Akhmad Khadafi berharap agar setiap individu yang menguasai aset negara atau lahan strategis dapat menunjukkan itikad baik melalui kepatuhan pembayaran pajak yang konsisten.
Dengan demikian, semangat untuk mencatatkan sejarah tidak hanya berhenti pada narasi kepemilikan, tetapi juga dibuktikan dengan integritas dalam menjalankan kewajiban sebagai warga negara.