Dapatkah Dana CSR Digunakan Sebelum Dicatat Dalam Kas Daerah?

Rabu, 01 September 2021

Dumai (Lineperistiwa.com) - Judul diatas adalah pertanyaan yang dilontarkan pada rubrik Hukum Online.com pada 9 Oktober 2019 dengan soalan lengkap, Apakah dana Corporate Social dan Responsibility (CSR) bisa langsung digunakan sebelum tercatat di kas daerah. Pertanyaan tersebut dijawab oleh Arasy Pradana A. Azis, S.H., M.H.Si Pokrol, berikut ulasan Lengkap sebagaimana uraian dibawah ini.
 
Pertanyaan tersebut juga banyak terlontar ke penulis belakangan ini karena itulah pertanyaan tersebut di padankan dengan rubrik Hukum yang materi soalannya dapat di katakan identik. Semoga jawaban diberikan dapat mewakili apa yang menjadi perhatian dan keingintahuan Masyarakat Dumai selama ini berkaitan pengunaan dana CSR dalam pembangunan Dumai lslamic Centre (DIC). Serta pedoman bagi pelaku usaha untuk berpartisifasi dalam pembangunan DIC agar niat dan tujuan baik tidak menjadi preseden buruk di kemudian hari.
 
Corporate Social Responsibility (CSR) oleh Letezia Tobing dalam artikel Aturan-Aturan Hukum Corporate Social Responsibility menyamakan pengertian Corporate Social Responsibility dengan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL). Pengertian TJSL sendiri dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas(“UUPT”), yang berbunyi:
 
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan TJSL, Pasal 74 ayat (1) UUPT.
 
Penjelasan Pasal 74 ayat (1) UUPT menerangkan bahwa:
 
Ketentuan ini bertujuan untuk tetap menciptakan hubungan perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Yang dimaksud dengan “perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam” adalah perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam.
 
Yang dimaksud dengan “perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam” adalah perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam.
 
TJSL merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran, Pasal 74 ayat (2) UUPT. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban melaksanakan TJSL dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, Pasal 74 ayat (3) UUPT.
 
Sebagaimana diuraikan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas (PP 47/2012), TJSL dilaksanakan oleh direksi berdasarkan rencana kerja tahunan perseroan setelah mendapat persetujuan Dewan Komisaris atau Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sesuai dengan anggaran dasar perseroan, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan, Pasal 74 ayat (3) UUPT.
 
Rencana kerja tahunan perseroan memuat rencana kegiatan dan anggaran yang dibutuhkan untuk pelaksanaan TJSL, Pasal 4 ayat (2) PP 47/2012. Pelaksanaan TJSL dimuat dalam laporan tahunan perseroan dan dipertanggungjawabkan kepada RUPS, Pasal 6 PP 47/2012.
 
Penggunaan Dana CSR dalam Pembangunan Daerah untuk menjawab pertanyaan mengenai pencatatan dana TJSL dalam kas daerah, ada perlunya kita meninjau ketentuan mengenai pendapatan daerah dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU 23/2014)  sebagaimana telah diubah dengan  Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014.
 
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang telah ditetapkan sebagai undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 sebagaimana telah diubah kedua kali dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pertama-tama, perlu diketahui bahwa sumber pendapatan daerah terdiri atas, Pasal 285 ayat (1) UU 23/2014.
 
Pendapatan asli daerah meliputi, pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, pendapatan transfer dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Lain-lain pendapatan daerah yang sah diatur dalam Pasal 295 UU 23/2014 yang menerangkan bahwa:
 
Lain-lain pendapatan Daerah yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 ayat (1) huruf c merupakan seluruh pendapatan Daerah selain pendapatan asli Daerah dan pendapatan transfer, yang meliputi hibah, dana darurat, dan lain-lain pendapatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 
Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)merupakan bantuan berupa uang, barang, dan/atau jasa yang berasal dari Pemerintah Pusat, Daerah yang lain, masyarakat, dan badan usaha dalam negeri atau luar negeri yang bertujuan untuk menunjang peningkatan penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
 
Berdasarkan bunyi pasal tersebut, menurut hemat kami, alokasi dana TJSL untuk pembangunan daerah dapat dikategorikan sebagai pendapatan daerah berupa hibah. Selain itu, semua penerimaan dan pengeluaran daerah dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan dilakukan melalui rekening kas umum daerah yang dikelola oleh bendahara umum daerah, Pasal 327 ayat (1) UU 23/2014.
 
Dalam hal penerimaan dan pengeluaran daerah tidak dilakukan melalui rekening kas umum daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dilakukan pencatatan dan pengesahan oleh bendahara umum daerah, Pasal 327 ayat (2) UU 23/2014.
 
Lebih lanjut, dalam Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 38 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2019 (hal. 23-24) diuraikan bahwa pendapatan hibah yang bersumber dari pemerintah, pemerintah daerah lainnya atau pihak ketiga, baik dari badan, lembaga, organisasi swasta dalam negeri/luar negeri, kelompok masyarakat maupun perorangan yang tidak mengikat dan tidak mempunyai konsekuensi pengeluaran atau pengurangan kewajiban pihak ketiga atau pemberi hibah, dianggarkan dalam APBD setelah adanya kepastian pendapatan dimaksud. 
 
Untuk penerimaan hibah yang bersumber dari pihak ketiga juga didasarkan pada perjanjian hibah antara pihak ketiga selaku pemberi dengan kepala daerah/pejabat yang diberi kuasa selaku penerima (hal.24). Dari aspek teknis penganggaran, pendapatan tersebut di atas dianggarkan pada akun pendapatan, kelompok lain-lain pendapatan daerah yang sah, dan diuraikan ke dalam jenis, obyek dan rincian obyek pendapatan masing-masing nama pemberi hibah sesuai kode rekening berkenaan (hal.24).
 
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendapatan daerah yang bersumber dari TJSL tetap harus dicatatkan dan dianggarkan dalam APBD sebelum digunakan, setelah adanya kepastian pendapatan tersebut. Kepastian tersebut berwujud perjanjian hibah antara pemerintah daerah dan badan usaha pemberi TJSL.***(LPC)
 
 
 
Editor: Didin Marican