Dumai (Lineperistiwa.com) – Boomingnya pemberitaan media seputar pembangunan Dumai Islamic Center (DIC) yang belakangan ini terus menyita perhatian publik, ternyata tak luput dari provit taking action oleh beberapa oknum dengan mem-framing pihak tertentu yang seolah-olah menyelipkan pesan pada publik bahwa mereka menolak pembangunan DIC.
Ketika ditemui awak media di kedai kopi bilangan Sultan Syarif Kasim Selasa, (06/08) menanyakan hal itu, Prapto Sucahyo mantan ketua Fraksi Demokrat plus DPRD Dumai periode 2009–2014 yang kini menjadi Plt. ketua Partai Demokrat Kota Dumai menanggapi persoalan itu dengan datar.
"Perbedaan pandangan masyarakat tersebut mestinya tak perlu di-framing begitu ke publik. Pernyataan penolakan terhadap pembangunan lslamic Center yang komponen utamanya adalah Masjid tentu dapat melekatkan stigma negatif pada seseorang ditengah masyarakat ataupun lingkungannya. Terlebih jika hal itu dibuat tanpa konfirmasi, wajar saja orang keberatan. Buktinya, “GEMPA” spontan bereaksi dan menjawab tegas pemberitaan media yang menyebutkan mereka menolak pembangunan DIC, tapi saya tak terlalu mempermasalahkan hal itu". ungkapnya awali percakapan.
Tak lama kemudian balik bertanya ke awak media "Antum maunya saya memandang persoalan pembangunan DIC itu dari aspek apa? Aspek legal, anggaran, apa teknis? Sudahlah, terlepas dari berbagai aspek itu, menurut saya yang paling pokok sebaiknya pernyataan yang dihadirkan ke ruang publik itu dapat mengedukasi dan memberikan pemahaman bagi masyarakat agar kemudian dapat menyikapi persoalan yang ada". ujar pria yang akrab disapa Cahyo.
Lanjutnya "Di-era Demokrasi ini tidak ada kewajiban bagi kita untuk sependapat dalam memandang suatu persoalan, perbedaaan itu sah-sah saja. Yang tidak boleh itu memaksakan kehendak, namun demikian, terhadap suatu persoalan yang mestinya terang benderang jangan pula lah dikabur-kaburkan".
"Sehubungan dengan fenomena dukung-mendukung pembangunan Dumai lslamic center tersebut, mestinya tak perlu disikapi secara berlebihan, apalagi sampai memobilisasi dukungan berbagai pihak dari berbagai daerah, tentu tidak lucu karena yang akan menggunakan fasilitas tersebut masyarakat Dumai. Namun demikian, masyarakat pun jangan buru-buru menganggap proyek fisik tersebut itu sebagai pembangunan daerah. Sebab, pembangunan Daerah adalah usaha yang sistematik untuk pemanfaatan sumber daya yang dimiliki Daerah untuk peningkatan dan pemerataan pendapatan masyarakat". tegasnya.
Tambahnya lagi "Kesempatan kerja, lapangan berusaha, meningkatkan akses dan kualitas pelayanan publik dan daya saing Daerah sesuai dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya. Berangkat dari kultur masyarakat Dumai yang berbudaya Melayu dan mayoritas Muslim, sejauh pengamatan saya sedikitpun tidak terlihat keberatan mayarakat dengan rencana pembangunan DIC tersebut. Keberatan masyarakat Dumai itu menurut saya didasarkan pada dua persoalan:
Pertama adalah tindakan penghancuran Masjid Habiburrahman yang merupakan 1 dari 999 Masjid yang dibangun atas prakarsa Presiden Soeharto melalui Yayasan Amalbhakti Muslim Pancasila (YAMP) yang tersebar di seluruh Provinsi di Indonesia. Sebagai informasi, sumber pendanaannya dibiayai oleh Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila (YAMP) antara 1982-1998 dari sumbangan bulanan anggota Korpri, yaitu PNS Golongan I sebesar Rp. 50,- Golongan II sebesar Rp. 100,- Golongan III sebesar Rp. 500,- Golongan IV sebesar Rp. 1.000,- serta dari sumbangan bulanan anggota ABRI (TNI-Polri) yaitu Tamtama sebesar Rp. 50,- Bintara sebesar Rp. 100,- Perwira Pertama sebesar Rp. 500,- Perwira Menengah sebesar Rp. 1.000,- Perwira Tinggi sebesar Rp. 2.000".
"Kedua adalah pembangunan DIC yang direncanakan menggunakan Dana TJSL yang sejatinya ditujukan untuk mewujudkan pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat bagi komunitas setempat dan masyarakat pada umumnya maupun Perseroan itu sendiri dalam rangka terjalinnya hubungan Perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat". rincinya.
"Yang perlu digaris bawahi adalah kata masyarakat setempat, hal itu jelas-jelas merugikan kepentingan masyarakat yang terdampak langsung atas kegiatan perusahaan dibidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam tersebut. Disisi lain, pengelolaan dana TJSP yang dipungut dari berbagai perusahaan oleh Forum TJSP yang selama ini terbungkus rapi justru menguak persoalan baru".
"Sebagaimana diketahui, dasar hukum pengelolaan TJSP Kota Dumai yang dilakukan oleh Forum TJSP adalah Perda Nomor 1 Tahun 2018 tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Dari penamaannya saja jelas terjadi distorsi yang luar biasa karena menghilangkan komponen utama dari tujuan dibentuknya Perda tersebut yakni frasa lingkungan yang menurut saya tidak lazim terjadi pada sebuah Peraturan Daerah yang sesungguhnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi/di atasnya, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas".
"Selain tidak mencantumkan Asas dan Prinsip pengeloaan TJSP yang mestinya didasarkan pada asas kepentingan umum, kepastian hukum, partisipatif, keterbukaan dan seterusnya, Perda Nomor 1 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan tidak menempatkan Masyarakat sebagai Pemangku Kepentingan didalamnya. Sebab, pengelolaan TJSP dilaksanakan oleh suatu forum yang diberi nama Forum TJSP yang dibentuk oleh Walikota dengan masa kerja selama 4 (empat) tahun".
"Forum TJSP terdiri dari Dewan Pengawas dan Dewan Pengurus. Anggota Dewan Pengawas terdiri dari Walikota, DPRD, Lembaga Adat Melayu Riau Daerah, Perguruan Tinggi, dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Anggota Dewan Pengurus 5 (lima) orang terdiri dari unsur, perwakilan perusahaan, 3 (tiga) orang; Akademisi, 1 (satu) orang OPD, Pemerintah Daerah 1 (satu) orang. Dalam dewan pengurus sama sekali tidak ada perwakilan dari unsur masyarakat".
"Dalam Pasal 1 angka 9 Perda Nomor 1 Tahun 2018 disebutkan bahwa Pengelolaan TJSP adalah serangkaian kegiatan pendataan perusahaan, penyusunan program, penghimpunan dan pendistribusian dana tanggung jawab sosial dan lingkungan. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam pelaksanaa Perda TJSP Kota Dumai Pemko Dumai (Walikorta dan DPRD) yang mestinya sebatas Regulator yakni sebagai pihak yang membuat dan mengawasi pelaksannan Perda TJSP tersebut justru menjelma sebagai Operator yang menghimpun dan mendistribusikan Dana TJSP".
"Mudah-mudahan masyarakat tidak berupaya melakukan Class Action akibat permasalahan TJSP tersebut mengingat besarnya jumlah tuntutan ganti kerugian pada gugatan class action dapat mengakibatkan tergugat bangkrut apabila gugatan dikabulkan, sebab tergugat wajib memberikan ganti kerugian atau melakukan tindakan tertentu kepada seluruh anggota kelompok yang jumlahnya sangat banyak. Ia juga berharap, semoga ke depannya Pemko Dumai bisa lebih transparan dalam pengelolaan dana TJSP ini " Pungkasnya.***(LPC)
Penulis dan Editor : Didin Marican, Zainal Arifin